ZHANG. Powered by Blogger.

O, NU!

O, NU!
 (Wawancara Imajiner dengan Hadlratusy Syeikh Hasyim Asy'ari )
Oleh: A. Mustofa Bisri



Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari
حضرة الشيخ هشام اسعار الاندونيسي
10 April 1875  (Demak) - 25 July 1947 (Jombang)


Inilah kali kedua saya melakukan wawancara imajiner dengan satu-satunya Rais Akbar NU, Hadlratusy Syeikh Mohammad Hasyim Asy'ari, setelah tahun 80-an saya mengadakan wawancara imajiner dengan beliau karena latah dengan 'Wawancara Imajiner'-nya Christianto Wibisono dengan Bung Karno dan 'Wawancara Imajiner'-nya Gus Dur dengan Nurcholish Madjid.

Pada waktu 'wawancara' saya terdahulu, saya 'melihat' Hadlratusy Syeikh sedang dikelilingi tokoh-tokoh NU seperti KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, KH Mahfudz Shiddiq, KH A. Wahid Hasyim, dll yang semuanya terlihat murung.

A. Mustofa Bisri
Saya ingat waktu itu, aku membuka 'wawancara' dengan matur kepada beliau: "Hadlratusy Syeikh, saya lihat Hadlratusy Syeikh dan sekalian masyayeikh yang ada di sini begitu murung. Bahkan, di kedua mata Hadlratusy Syeikh yang teduh, saya melihat air mata yang menggenang. Apakah dalam keadaan yang damai dan bahagia begini, masih ada sesuatu yang membuat Hadlratusy Syeikh dan sekalian masyayeikh berprihatin?

Apakah gerangan yang diprihatinkan?"

Dan beliau dengan sareh menjawab, mendahului Kiai A. Wahab Hasbullah yang kelihatan ingin mewakili menanggapi atur saya: "Cucuku, kau benar. Kami semua di sini, alhamdulillah, hidup dalam keadaan damai dan bahagia. Seperti yang kau lihat, kami tak kurang suatu apa. Kalaupun ada yang memprihatinkan kami, itu justru keadaan kalian. Kami selalu mengikuti terus apa yang kalian lakukan dengan dan dalam jam'iyah yang dulu kami dirikan. Kami sebenarnya berharap, setelah kami, jam'iyah ini akan semakin kompak dan kukuh. Semakin berkembang. Semakin bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. Semakin mendekati cita-citanya. Untuk itu, kami telah meninggali bekal yang cukup. Ilmu yang lumayan, garis yang jelas, dan tuntunan yang gamblang."

"Jam'iyah ini dulu kami dirikan untuk mempersatukan ulama Ahlussunnah wal Jama'ah dan para pengikutnya; tidak saja dalam rangka memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, tapi juga bagi khidmah kepada bangsa, negara, dan umat manusia."

"Sebenarnya kami sudah bersyukur bahwa khitthah kami telah berhasil dirumuskan secara jelas dan rinci; sehingga generasi yang datang belakangan tidak kehilangan jejak para pendahulunya. Sehingga langkah- langkah perjuangan semakin mantap. Tapi, kenapa rumusan itu tidak dipelajari dan dihayati secara cermat untuk diamalkan? Kenapa kemudian malah banyak warga jam'iyah yang kaget, bahkan seperti lepas kendali? Satu dengan yang lain saling bertengkar dan saling cerca. Tidak cukup sekadar berbeda pendapat (ikhtilaaf), tapi sudah ada yang saling membenci (tabaaghudl), saling mendengki (tahaasud), saling ungkur-ungkuran (tadaabur), bahkan saling memutuskan hubungan (taqaathu'). Padahal, mereka, satu dengan yang lain, bersaudara. Sebangsa. Setanah air. Seagama. Seahlissunnahwaljama'ah. Sejam'iyah."

Waktu itu, sekalian para kiai yang mengelilingi beliau serentak menggumamkan laa haula walaa quwwata illa biLlah. Dan kali ini saya 'temui' beliau sendirian dan tampak lebih murung daripada waktu itu. Awan kesedihan terlihat jelas menyelimuti wajah beliau yang berwibawa.

Sebenarnya saya agak tak enak perasaan mengganggu beliau yang sedang tafakkur sendirian. Tapi, terdorong oleh kegelisahan saya akhir-akhir ini dan keinginan sedikit mendapat 'air jernih', saya memberanikan
diri. Saya tahu, betapapun tinggi maqam beliau, beliau tak mungkin menolak keluh-kesah cucu muridnya.

Saya : "Assalamu'alaikum, Mbah!"

الشيخ: "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh!"

Saya: "Nuwun sewu, Mbah; kepareng matur. Mohon maaf bila saya mengganggu kesendirian Mbah. Apalagi saya lihat Mbah sedang bersedih. Saya terpaksa, Mbah. Saya tidak tahan mendengar keluhan banyak kawan
warga NU yang bingung menghadapi situasi di tanah air akhir-akhir ini."

الشيخ: "Tak mengapa cucuku. Aku tahu kegelisahan kalian. Bukankah dulu sudah pernah aku katakan kepadamu bahwa aku dan kiai-kiai di sini senantiasa mengikuti dan memantau apa yang kalian lakukan dalam
meneruskan perjuangan kami. Justru kesedihanku saat ini karena kegelisahan kalian juga. Tumpahkanlah keresahanmu kepadaku. Meskipun aku sedang bersedih, aku selalu mempunyai waktu untuk mengawani dan
menampung keluh kesah pengikutku."

Saya: "Terima kasih, Mbah. Kami tahu Mbah adalah pemimpin yang sesungguhnya, yang senantiasa memikirkan umat, yang senantiasa berusaha membantu umat, dan tidak pernah menambah beban mereka dengan merusuhkan pikiran mereka. Mbah tidak pernah risi mendengar keluhan pengikut Mbah yang paling kecil sekalipun. Karena itulah, saya memberanikan diri sowan dan matur sekarang ini."

الشيخ : Kau tak perlu terlalu memujiku, cucuku. Bukankah sudah sewajarnya orang yang bertekad melanjutkan perjuangan pemimpin agungnya, Nabi Muhammad SAW, mengikuti jejak dan perilakunya? Sekarang, katakanlah apa yang ingin kau katakana! Tanyakanlah apa yang ingin kau tanyakan!"

Saya: "Matur nuwun, Mbah. Mungkin, Mbah juga mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah air kita dewasa ini. Untuk pertama kali, bangsa kita mengadakan pemilihan umum dengan melibatkan rakyat sebagai
pemilik negara secara langsung. Rakyat yang selama ini selalu dipilihkan, sekarang ini bebas menggunakan haknya, memilih sendiri pemimpinnya. Dan untuk pertama kali sejak Orde Baru, orang NU dilibatkan dalam percaturan kekuasaan di negeri ini. Padahal, sebelumnya selalu hanya di pinggiran. Mestinya, hal ini merupakan nikmat yang perlu disyukuri terutama oleh warga NU, tapi mengapa justru terasa sebagai niqmah, malapetaka, khususnya bagi mereka."

الشيخ: "Astaghfirullah. Memang menurutku, salah satu krisis -di antara sekian banyak krisis-yang melanda bangsa kita saat ini adalah krisis syukur. Bangsa kita kurang atau bahkan tidak tahu bersyukur. Kalian tahu sendiri -sudah menjadi hafalan dan wiridan para mubaligh- syukur membuahkan tambahan nikmat dari Allah, sebaliknya kufur, tidak mensyukuri nikmat, bisa menarik azab yang besar. Aku tidak perlu menerangkan lagi bagaimana seharusnya orang bersyukur. Tapi, yang perlu ditanyakan terlebih dahulu ialah apakah kita dapat menyadari dan mengakui adanya nikmat atau tidak. Bagaimana orang akan bersyukur bila ia tidak menyadari atau tidak mengakui adanya anugerah dari Allah? Lihatlah apa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita? Kepada bangsa dan negara ini? Kita dianugerahi-Nya kekayaan yang luar biasa melimpah. Tapi tragisnya, kita justru tergolong negara miskin di dunia. Banyak utang dan pengekspor babu paling bersemangat. Masya
Allah. InnaLlaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bianfusihim. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang Ia anugerahkan kepada suatu kaum menjadi laknat, sampai kaum itu sendiri
mengubahnya."

Saya : "Bagaimana dengan warga NU?"
الشيخ: "Ya, kelihatannya sama saja. Ingat waktu kau datang mewawancaraiku pertama kali dulu. Waktu itu kan sedang panas-panasnya pertikaian kaum nahdliyiin justru pada saat pemasyarakatan Khitthah Nahdlatul Ulama. Kami semua yang di sini bersyukur sekali ketika sikap perilaku dan kiprah perjuangan kami, para pendiri NU, berhasil dirumuskan oleh generasi penerus. Tapi, kebanyakan warga NU tidak dapat memahami khitthah itu sebagai nikmat. Tapi, lagi-lagi yang mengemuka kemudian ialah kepentingan masing-masing. Masing-masing yang berkepentingan menafsirkan dan menggunakan khitthah NU sekadar bahan untuk mendukung kepentingannya. Padahal, kepentingan mereka tidak sama seperti kami dulu. Bahkan, kepentingan-kepentingan mereka saling bertentangan. Akibatnya, seperti yang kalian rasakan, pertikaian intern."

Saya : "Seperti sekarang ini, ya Mbah?"
الشيخ: "Ya, seperti sekarang ini. Banyak warga NU yang tidak menyadari bahwa apa yang mereka peroleh sekarang ini adalah nikmat, anugerah Allah. Coba pikir, kau tahu sendiri selama ini -lama sekali- NU
seolah-olah hanya Nunut Urip. Lalu, Tuhan mengangkatnya menjadi faktor yang diperhitungkan semua pihak justru pada saat negeri ini paling memerlukan ishlaah. Beberapa tokoh NU bahkan diajak ikut
berkompetisi dalam perebutan maqam kepemimpinan negara. Tapi, yang terjadi malah banyak warga dan tokoh NU yang kaget dan bukannya bersyukur. Mereka pada gedhebagan seperti mabuk gadung. Saling pamer keaslian mereka sebagai 'manusia dunia' yang ngiler melihat 'kue dunia' yang mereka sendiri tahu -kalau saja tidak lupa- bahwa nikmatnya hanya seklametan. Lalu, saling berebut di antara sesama. Na'udzu billah!"

Saya : "Sekarang ini, beberapa kiai pun, sadar atau tidak, sudah ikut terlibat."
الشيخ: "Lho, umumnya kiai itu kan lugu dan tidak terbiasa punya pamrih duniwai, apalagi sampai oyok-oyokan donya. Tapi kau kan tahu sendiri, kelemahan kiai justru pada sifatnya yang sakakenan, mudah kasihan, tidak suka suu-uzzhan, dan ikhlasnya tidak taktis. Kelemahan inilah yang banyak disalahgunakan oleh 'manusia-manusia dunia' yang ada di sekelilingnya. Mereka ini tahu kiai; sementara kiai tidak tahu mereka. Asal mereka mengatakan kepada kiai, misalnya, 'ini demi rakyat, kiai' atau 'kasihan umat, kiai', maka kiai pun dengan mudah diajak ke sana-kemari. Namun yang justru lebih bahaya, bila ada orang yang telanjur disebut kiai ikutan berebut kepentingan duniawi. Karena yang model begini akan sama dengan 'manusia-manusia dunia' yang dimabukkan kepentingan hingga lupa kepada kemaslahatan umat. Lupa bahwa di belakang mereka ada para pengikut yang lebih lugu lagi, yang siap membela imam untuk merebut apa pun, sesuatu yang mulia atau tidak. Para pengikut yang sering juga disebut akar rumput itu dewasa ini sudah sedemikian kering, hingga mudah terbakar. Ini harus disadari oleh semua pemimpin yang memiliki pengikut."

Saya : "Yang terakhir, Mbah; apa nasihat Mbah kepada kami?"
الشيخ: "Aku kira nasihat-nasihatku yang sudah aku tinggalkan, baik dalam Mukaddimah Qanun Asasi maupun risalah-risalahku yang lain, masih relevan dan itu cukup bagi yang memang memerlukan nasihat.
Apalagi sudah ada Khitthah NU. Terutama para kiai dan pemimpin NU, aku harap mau menyempatkan diri membacanya kembali. Berbeda pendapat, berbeda pilihan, bukan soal, asal masing-masing memiliki kearifan dan kedewasaan. Maka para kiai dan pemimpinlah yang harus menjaga dengan kearifan dan kedewasaan mereka, agar para pengikut mereka tidak menjadikan perbedaan sebagai pemicu pertentangan, apalagi permusuhan. Perbaiki hubungan kalian dengan Allah, maka insya Allah akan menjadi baik pula hubungan kalian dengan sesama! Jagalah Indonesia! Jagalah NU!"

Saya : "Terima kasih, Mbah! Sekali lagi, mohon maaf telah mengganggu."