ZHANG. Powered by Blogger.

Filsafat kuno tentang Jiwa

The School Of Athens

 "We are not separated from the One, not distant from it, even though bodily nature has closed about us and drawn us to itself"
(Enneads VI - Plato)


Precursor pendahulu peristiwa, cikal bakal atau yang menunjukkan pendekatan utama dari konsep modern tentang jiwa berawal dari konsep di zaman Yunani kuno, yang semula digunakan untuk menandai perbedaan antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Secara konseptual, hal tersebut terkait dengan pneuma (nafas), dan diperkirakan datang dalam derajat yang sesuai dengan kondisi yang berbeda dari kesadaran. Jadi, orang yang sudah mati itu bisa dikatakan telah kehilangan jiwanya secara keseluruhan, sedangkan saat seseorang tidur atau pingsan berati dia telah cukup atau banyak kehilangan kesadaran, yang membuatnya semakin dekat dengan kematian. Jiwa terdiri dari materi yang sangat ringan dan lemah, umumnya diidentifikasi sebagai sesuatu yang murni dan "bernafas (mampu bernafas)" yaitu unsur-unsur seperti udara (menurut para filsuf Thales625-547 SM dan Anaximenes +570-500 SM) atau api (Heraclitus540-480 SM).

Plato (428-348/347 SM)
Filsuf era Plato lebih memperinci penelitiannya tentang bagaimana seseorang dapat merasa, berpikir, memiliki pengetahuan, dan mampu membedakan benar atau salah. Tujuannya adalah untuk membagi jiwa menurut kapasitasnya. Di era inilah fakultas psikologi pertama yang tercatat dalam sejarah tradisi barat terbentuk.

Menurut Phaedo Plato's seventh and last dialogue to detail the philosopher's final days, teori Plato lebih (dianggap) akurat daripada pendahulunya. ia menganggap keabadian sebagai sifat penting dari sebuah jiwa. Jadi, "ketika  kematian datang kepada seseorang , bagian fana dari dirinya meninggal, tetapi bagian abadi memisahkan diri saat terjadinya kematian dan terlepas secara utuh dan tidak bisa dihancurkan" (106e). Definisi 'jiwa yang abadi ' disini adalah jiwa yang tidak lebih / kurang memiliki banyak kesamaan antara satu (jiwa) dengan lainnya dan lebih mutlak dibandingkan dengan saat ia berada di dunia.
Plato sering mengamati proses operasi dan orang yang sekarat/mendekati ajal, Menurutnya tubuh bukanlah tempat alami (sejati) bagi jiwa, semua hal yang ada/terjadi (pada jiwa) saat berada di tubuh bertujuan atau digunakan untuk melepaskan diri dari 'penjara' tubuh.

Plato lebih terbuka dalam karya-karya selanjutnya, dimana konsep jiwa memainkan peran utama yang mempengaruhi moral dan tindakan manusia. Dari kenyataan bahwa seseorang dapat dipengaruhi oleh dua atau lebih keinginan secara bersamaan, dia menyimpulkan bahwa jiwa tidak dapat terpisah, karena tidak mungkin untuk melakuakan dua hal yang berlawanan pada waktu yang sama (ada afinitas yang jelas di sini dengan logis prinsip non-kontradiksi Socrates 470-399 SM).
Plato membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu nous (jiwa),  thumos (semangat), dan epithumia (hawa nafsu) dan menganggapnya sebagai sumber keinginan yang saling bertentangan (IV, 439d).

Alasan (tunggal atau jamak) merupakan penggerak dari sebuah jiwa, tetapi selalu bertentangan dengan selera atau hawa nafsu lahiriah seseorang, yang merupakan bagian yang paling tampak dari jiwa "qua diligit esuritionum, sitit et velo et sentit: ceterae libidines titillatio" (439d). Alasan dan hawa nafsu akan tetap dalam pertempuran tanpa akhir, tetapi dengan adanya hasrat/keinginan yang selalu tumbuh di dalam jiwa alasan bisa mengalahkan hawa nafsu.

Dalam Phaedrus discussion between Plato's main protagonist, Socrates, and Phaedrus about revolves around the art of rhetoric and how it should be practiced, and dwells on subjects as diverse as Metempsychosis (the Greek tradition of reincarnation) and erotic love, Plato mengibaratkannya sebagai seorang kusir yang  mencoba untuk mengendalikan dua kuda: yang satu adalah kuda yang baik (gairah), yang tidak perlu dicambuk karena ia patuh dan cukup diperintah saja, satunya adalah seekor kuda yang malas(nafsu makan), yang perlu dikontrol atau bahkan dicambuk dan dipastikan kereta akan jatuh ke parit jika kuda tersebut dibiarkan (253d-254e). Plato melihat (sejatinya) tidak ada nilai penebusan yang diakibatkan emosi dalam kehidupan moral manusia, semisal marah, kadang-kadang marah memang diperlukan dan tentunya dengan alasan yang bisa dibenarkan.

Aristoteles (384-322 SM)
Aristotelis memandang jiwa (anima De) sebagai suatu fenomena alam. Jiwa didefinisikan sebagai "sebuah aktualitas bentuk awal dari tubuh yang tebentuk secara alami" .Jiwa lah yang membuat tubuh hidup dan mampu menjalankan fungsi dari tubuh beserta anggotanya. Aristoteles membaginya menjadi 3 yaitu kebutuhan akan pangan,kekuatan indrawi (yaitu, penglihatan, pendengaran, rasa, bau, imajinasi dan ingatan), dan kekuatan intelektual (pemahaman, pernyataan, dan kemampuan untuk berpikir jangka panjang).
Kecerdasan menurut Aristoteles adalah kesempurnaan kesatuan organik dari tubuh dan jiwa.